Sikap hidup manusia seringkali diibaratkan dengan berbagai jenis binatang. Jelas ada manusia yang “berbudaya semut”, yaitu menghimpun dan menumpuk ilmu (tanpa mengolahnya) dan menghimpun dan menumpuk harta benda (tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya). Budaya semut adalah “budaya menumpuk”, maka tak heran permasalahan yang sering dialami manusia adalah bersumber dari harta.
Karena harta banyak manusia lalai dalam ibadah, karena harta banyak manusia yang bertengkar dengan sanak sodara, dan banyak lagi madlorot yang disebabkan sifat ini. Dapat dipastikan bahwa dalam masyarakat kita, banyak sekali semut yang berkeliaran.
Sekarang laba-laba, Entah berapa banyak jumlah laba-laba yang ada di sekitar kita, yaitu mereka yang tidak lagi butuh berpikir apa, di mana, dan kapan ia makan, tetapi yang mereka pikirkan adalah “siapa yang akan dijadikan mangsa.
Ia menjadi kiasan dari sifat manusia yang mencelakakan. Rumah/organisasi/lembaga yang menjadi pelindungnya menjerumuskan siapa saja yang terpikat olehnya.
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengibaratkan seorang Mukmin sebagai lebah, sesuatu yang tidak merusak dan tidak pula menyakitkan: Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat dan jika menimpa sesuatu maka tidak merusak dan tidak pula memecahkannya.
Lebih rinci lagi, lebah setidaknya memiliki tiga keistimewaan yang dapat menjadi analogi tentang karakter manusia. Pertama, lebah tak merusak ranting yang ia hinggapi, sekecil apa pun pohon tersebut.
Hal ini memberi pelajaran manusia agar menghindari perilaku yang menimbulkan mudarat atau kerugian terhadap orang lain. Lebah memang datang untuk makan, tapi ia tak ingin merusak untuk kepentingan pribadinya itu. Bahkan kerap kali lebah justru berjasa dalam proses penyerbukan sebuah bunga yang ia hinggapi.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..