مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النِّخْلَةِ، مَا أَخَذْتَ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ نَفَعَكَ. (رواه الطبراني)
Artinya, ”Perumpamaan seorang mukmin itu seperti pohon kurma, apapun yang Kamu ambil darinya pasti bermamfaat bagimu.” (HR at-Thabarani).
Orang mukmin adalah orang yang punya konstribusi besar kepada sesama. Apapun akan ia lakukan asal itu untuk kebaikan bagi orang lain dan tidak melanggar perintah Allah swt. Keberadaan seorang mukmin bermanfaat bagi saudara-saudaranya.
Keenam, orang mukmin itu seperti emas:
مَثَلَ الْمُؤْمِنِ مَثَلَ سَبِيْلَةِ الذَّهَبِ، إِنْ نَفَخَتْ عَلَيْهَا اَحَمَرَتْ، وَإِنْ وَزَنَتْ لَمْ تَنْقُصْ. (رواه البيهقي)
Artinya, “Perumpamaan seorang mukimin seperti batangan emas, kalau Engkau meniupkan (api) padanya maka ia menjadi merah, kalau Engkau menimbangnya maka tidak berkurang.” (HR al-Baihaqi).
Menjadi mukmin seumpama menjadi emas, kokoh, tidak luluh dan menyerah dengan keadaan. Ia kokoh berpijak di atas kebenaran, tidak melebur dan mengikuti arus begitu saja. Namun ia punya prinsip yakni objektif dalam kebenaran sehingga tidak memihak kepada saudara yang salah.
Ketujuh, orang mukmin itu seperti tubuh:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى. (رواه مسلم)
Artinya, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR Muslim)
Orang mukmin bagaikan satu tubuh utuh yang kalau sakit salah satu organnya, yang lain pun merasa sakit. Kaki terluka akan menyebabkan tubuh meriang dan kepala pusing. Bila saudara menderita kesulitan, maka yang lainnya juga merasakannya. Itulah makna persaudaraan yang sesungguhnya. Islam mendorong umatnya untuk menerjemahkan ikatan tali persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaikan sebuah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Suka-duka dilalui bersama. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Sikap saling memiliki merupakan sikap persaudaraan sejati.
Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh
Betapa indahnya, Islam menuntun manusia dalam merajut tali persaudaraan. Untuk menerapkannya, tentu tak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Biar pun rambut sama hitamnya, tetapi rasa persaudaraan memang berlainan.
Jadilah seperti kedua tangan kita, yakni kanan dan kiri. Masing-masing tangan punya tugas sendiri-sendiri. Tangan kanan, kita gunakan untuk melakukan hal-hal yang baik, seperti makan, minum, berjabat tangan, mempersilahkan, menulis, atau mungkin dalam menunjukkan sesuatu; sedangkan tangan kiri biasanya kita gunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan barang kotor dan terkena najis.
Ketika kita sedang berjalan, tangan melambai bergantian. Saat kita melangkahkan kaki kiri, tangan kanan kita di depan dan tangan kiri di belakang. Begitu juga sebaliknya. Bila kedua tangan sedang beristirahat, keduanya bersedekap, kehangatan terasa. Kala kedua tangan sama-sama berupaya mengangkat suatu barang, maka kekuatan tercipta. Ketika satu tangan terluka, tangan yang satunya sanggup mengobatinya. Jari manis di tangan kananpun juga tidak pernah iri ketika saat jari manis tangan kiri mendapatkan cincin pernikahan.
Bagaimana dengan perumpamaan kedua telinga? Sehingga kita tidak boleh menjadi seperti kedua telinga? Janganlah menjadi seperti dua telinga. Telinga kanan dan kiri, keduanya ada di kepala. Meskipun ada di satu tempat yang sama, sama-sama di kepala, telinga tidak pernah berjumpa satu sama lainnya. Telinga sering berebut untuk menangkap suara. Telinga tidak saling membantu. Ketika telinga kanan menghadap ke arah timur, maka telinga kiri menghadap ke arah barat. Jika telinga kiri menghadap ke arah selatan, telinga kanan pun menghadap ke arah utara. Janganlah kita seperti kedua telinga, ketika kita dalam persaudaraan, tidak kompak, suka berselisih padahal memiliki hubungan yang dekat.
Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh
Sungguh ajaran Islam telah menanamkan benih-benih persaudaraan yang dapat menghasilkan manfaat yang dahsyat, baik duniawi maupun ukhrawi. Keimanan seseorang diukur dengan pembuktian sejauh mana seorang mukmin bisa mencintai saudaranya. Hal ini dipertegas Rasulullah saw yang berbunyi:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (متفق عليه)
Artinya, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari dan Muslim).