Abu Sufyan pun masuk Islam, disusul anggota keluarganya dan para pengikutnya yang lain. Bahkan, putranya, Muawiyah bin Abu Sufyan, beberapa saat kemudian diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang pencatat wahyu.
Peristiwa inilah kemudian disebut dengan fathu makkah (pembebasan Kota Makkah). Kekuatan politik yang mapan, sama sekali tak menjadikan Rasulullah bertindak semena-mena.
Padahal, bila mau, dengan kekuatan militer yang ada, Rasulullah bisa membinasakan mereka dalam waktu singkat.
Rasulullah sama sekali bukan pendendam. Justru dengan kenyataan inilah orang melihat keluhuran Islam sebagai agama yang beradab, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, selaras dengan misi Nabi Muhammad diutus, yakni rahmatan lil ‘alamin yaitu sebagai penebar cinta bagi seluruh alam semesta.
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Bila di pembukaan khutbah tadi disebutkan bahwa, akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an, maka sifatnya memang mengamalkan apa yang ada dalam Al-Qur’an:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS al-A’râf:199)
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Perlu kita pahami bahwa, memaafkan bukan tanda kelemahan atau kekalahan. Sebab, maaf hanya bisa lahir dari jiwa-jiwa yang besar.
Dengan membuka pintu maaf yang demikian luas, Nabi justru hendak menunjukkan bahwa, pembalas dendam justru tak akan memperoleh kemuliaan. Hal ini sesuai sabdanya:
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
Artinya: Dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan. (HR Muslim)
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Maaf memang mudah dilontarkan di lisan, tapi sangat sulit dipraktikkan. Sebagian orang mungkin berpikir, bagaimana mungkin kita bisa memaafkan orang yang pernah menghina, melecehkan, menghujat, atau bahkan melakukan kekerasan kepada kita.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..