Selain tragedi bersejarah tersebut, pada kesempatan lain masih banyak sabda dan sikap Rasulullah yang menunjukkan keberpihakan beliau untuk menjadi manusia merdeka. Seperti sistem perbudakan pada saat itu, Rasul malah mendorong umatnya untuk melepaskan status budak yang melekat pada diri seseorang.
Dorongan ini dapat terlihat pada ajaran-ajarannya seperti janji pahala bagi yang memerdekakan budak, memerdekakan budak sebagai denda kafarat bagi pelanggar aturan tertentu, mempermudah merdeka bagi budak mukatab (menyicil kemerdekaan), bahkan dalam riwayat Muslim disebutkan:
مَنْ لَطَمَ مَمْلُوكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ
Artinya, “Siapa saja yang menampar budaknya atau memukulnya maka kaffaratnya berupa memerdekakannya.” (HR. Muslim)
Sabda Nabi ini hendak menegaskan bahwa budak tetaplah manusia sehingga tidak boleh diperlakukan semena-mena, apalagi menyiksanya. Inilah ajaran Islam yang sejati, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Budak selaku kasta sosial yang rendah tetap harus diperlakukan dengan baik dan sopan. Maka bila bermain tangan terhadap budak maka sanksinya ialah melepaskan status kebudakannya.
Imam Nawawi di dalam kitabnya, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, mengomentari hadis ini bahwa para ulama bersepakat bahwa hukum memerdekakan budak tidak bersifat wajib, melainkan sunnah.
Meski demikian, kata Imam Muslim, para ulama mengatakan berdasarkan hadis ini agar bersikap baik dan menahan diri untuk menyiksa seorang budak. Bahkan kesunnahan memerdekakan budak di sini dengan harapan sebagai penebus dosa atas kezaliman yang dilakukan sang tuan.
Artinya, melakukan penyiksaan kepada budak itu perbuatan zalim. Dan agama Islam mengajarkan agar kita menjauhi beragam perbuatan zalim. Bila menyiksa budak dikategorikan perbuatan zalim, lantas bagaimana bila dilakukan kepada orang merdeka sebagaimana perbuatan para kolonial?
Para jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah..
Dalam pandangan Islam, kolonialisme dan imperialisme merupakan kezaliman. Maka menghindari kezaliman dengan menjadi merdeka merupakan sebuah anjuran. Dalam Islam sendiri, manusia merdeka memiliki segudang kelebihan dibandingkan manusia yang berada di bawah kekuasaan manusia yang lain. Dengan merdeka, maka seseorang memiliki kebebasan dan hak penuh untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Nabi Muhammad sendiri menyadari kalau sistem perbudakan merupakan bentuk penjajahan dan bertentangan dengan fitrah manusia. Namun Nabi tidak langsung menghapus sistem tersebut begitu saja sebab kondisi yang tidak memungkinkan.
Makanya beliau menggunakan strategi yang sangat halus yang tidak disadari banyak pihak, yaitu sebagaimana cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya. Keinginan dan anjuran Nabi untuk menjadi manusia merdeka mendapat dukungan dari ayat al-Quran yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13).
Ayat tersebut mempertegas posisi manusia di hadapan Allah yang setara semuanya, hanya yang paling bertakwalah yang paling tinggi derajatnya. Dengan demikian, dalam konteks kemerdekaan dan penjajahan, seyogyanya manusia itu tidak boleh ada yang merasa lebih di antara yang lain.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..