KH. Achmad Siddiq pernah menulis artikel berjudul “Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai langkah pembinaan Khaira Ummah dalam Masyarakat Pancasila”. Dalam artikel itu, mengutip Imam al-Ghazali, beliau menjelaskan beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, supaya gerakannya produktif dan tidak menimbulkan masalah baru.
Imam al-Ghazali dalam Ihya ulumiddin menekankan pelaksanan amar ma’ruf nahi munkar terdiri dari empat unsur: muhtasib (pengawas/pelaksana), muhtasab ‘alaih (objek yang diawasi/diajak), muhtasab fih (masalah), dan ihtisab (bentuk pengawasan/penanganan).
Keempat unsur ini saling berkaitan dan apabila berubah salah satunya, maka pola penangananya pun akan berbeda. Misalnya, apabila kita ingin mengajak seorang anak untuk berbuat baik dan rajin beribah, tentu metodenya berbeda dengan orang dewasa. Menerapkan metode orang dewasa terhadap anak kecil akan menimbulkan masalah baru dan kemungkinan besar anak yang diajak tidak akan berubah.
Sidang jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
KH Achmad Siddiq menekankan dua hal terkait pelaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Pertama, perlu dibedakan antara maksiat dengan munkar. Munkar itu lebih luas daripada maksiat. Setiap sesuatu yang dapat membahayakan kepentingan umum dapat disebut sebagai kemungkaran, meskipun tidak dianggap maksiat. Karenanya, kalau ada orang gila yang berzina di depan umum, wajib dicegah, meskipun perbuatan zina bagi orang yang gila tidak termasuk dalam kategori maksiat. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan:
الْمُنْكَرُ أَعَمُّ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، إِذْ مَنْ رَأَى صَبِيًّا أَوْ مَجْنُوْنًا يَشْرَبُ الْخَمْرَ فَعَلَيْهِ أَنْ يُرِيْقَ خَمْرَهُ وَيَمْنَعُهَ، وَكَذَا إِنْ رَأَى مَجْنُوْنًا يَزْنِي بِمَجْنُوْنَةٍ أَوْ بَهِيْمَةٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ
“Munkar lebih umum dari maksiat. Karenanya, apabila melihat anak kecil atau orang gila minum khamar, wajib diambil minumannya (dibuang) dan dilarang. Begitu pula, jika melihat orang gila berzina, baik dengan sesama orang gila ataupun binatang, hukumnya wajib untuk dicegah.”
Selain menekankan pentingnya pembedaan antara maksiat dan munkar, KH Achmad Siddiq juga menegaskan bahwa kemungkaran yang wajib dicegah adalah munkar bil ijma’ (disepakati oleh para ulama sebagai kemungkaran), sementara kemungkaran yang masih diperdebatkan hukumnya oleh para ulama tidak wajib untuk dilarang atau dicegah.
Ma’syiral muslimin rahimakumullah,
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa orang yang akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar (muhtasib) harus berilmu, wara’, dan berakhlak baik. Beliau mengatakan dalam Ihya Ulumiddin:
وَلْيَكُنْ عَالِمًا وَرَعًا وَحُسْنَ الْخُلُقِ يَتَلَطَّفُ فَلَا يَعْنُفُ، إِمَّا الْعِلْمُ فَلْيَعْلَمُ حُدُوْدَ الْاِحْتِسَابِ، وَالْوَرَعُ لِيَقْتَصِرَ عَلَى حَدِّ الْمَشْرُوْعِ فِيْهِ، وَيَحْسُنُ الْخُلُقَ بِتَلَطُّفٍ فَلَا يَعْنُفُ كَيْلَا يَتَجَاوَزَ حَدَّ الشَّرْعِ فَيَفْسُدَ أَكْثَرُ مِمَّا يَصْلُحُ
“Muhtasib harus berilmu, wara’, dan berakhlak baik, bersikap lembut dan tidak keras. Muhtasib harus berilmu supaya mengetahui ketentuan ihtisab (pengawasan/bentuk penanganan); muhtasib harus wara’ supaya bisa membatasi diri pada ketentuan yang disyariatkan; berakhlak mulia dengan lembut dan tidak keras supaya tidak melewati batasan syariat, sehingga menimbulkan mafsadat lebih banyak dibanding kemaslahatannya”.
Jadi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar harus berilmu, wara’, dan berakhlak mulia. Tidak boleh melakukan kekerasan ketika dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Karena kalau melakukan kekerasan, alih-alih menjadi baik, justru mendatangkan kemudaratan dan kemungkaran yang baru. Apalagi dalam konteks bernegara, kita tidak boleh melanggar aturan hukum dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar.
Baca halaman berikutnya..