Sesudah para jin tersebut mencuri dengar dari para malaikat, maka mereka turun ke bumi. Lalu mereka memberitahukan hal itu kepada orang-orang yang berteman dengan mereka dari kalangan manusia. Karena yang dilakukan oleh para jin itu adalah mencuri dengar, maka apa yang mereka dengar bisa jadi sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh para malaikat, dan bisa jadi tidak sesuai. Banyak salahnya ketimbang benarnya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita waspadai juga orang-orang yang mengaku mampu menghadirkan malaikat dan roh orang telah meninggal, padahal kenyataannya yang mereka datangkan adalah jin. Roh orang yang bertakwa tidak ingin kembali ke dunia, meskipun mereka menguasai dunia dan seluruh isinya. Sedangkan roh orang kafir berada di bawah kekuasaan para malaikat penyiksa. Jelas para pembohong tersebut tidak akan mampu menarik dan merebut roh orang kafir dari para malaikat penyiksa. Jadi yang datang ke hadapan mereka, tiada lain adalah jin yang dulu mengetahui keadaan orang yang telah meninggal itu dan hidup bersamanya. Mungkin jin qarin-nya atau jin lain yang mengetahui orang tersebut, sehingga ia berbohong dan berkata: “Aku adalah rohnya si Fulan.”
Sedangkan orang yang mengulang-ulang bacaan ayat tertentu dengan jumlah tertentu untuk tujuan yang baik, maka hal itu tidaklah menyalahi syariat. Karena orang seperti ini bisa saja didatangi oleh mala’ikatur-rahmah (para malaikat pembawa rahmat) disebabkan berkah ayat tersebut. Sedangkan orang yang bertujuan dunia tidak akan didatangi oleh mala’ikatur-rahmah.
Hadirin jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah,
Marilah kita mendekat kepada para ulama yang sebenarnya. Yaitu para ulama yang betul-betul menjadi pewaris para nabi yang sanad keilmuannya bersambung hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan menimba ilmu dari mereka, kita akan mampu membedakan antara ulama yang sebenarnya dan yang hanya mengaku-ngaku sebagai ulama padahal sejatinya ia hanyalah seorang dukun atau peramal.
Syekh ‘Abdul Wahhab asy-Sya’rani rahimahullah dalam kitabnya, Latha-if al Minan wa al Akhlaq mengutip dari Ibnu ‘Arabi bahwa ia berkata:
مَنْ اَرَادَ أَنْ لاَ يَضِلَّ فَلاَ يَرْمِ مِيْزَانَ الشَّرِ يْعَةِ مِنْ يَدِهِ طَرْ فَةً عَيْنٍ بَلْ يَسْتَصْحَبُهَا لَيْلاً وَنَهَارًا عِنْدَ كُلِّ قَوْلٍ وَفِعْلٍ وَعْتِقَادٍ
“Barang siapa ingin tidak tersesat, maka janganlah dia membuang timbangan syari’at dari tangannya meskipun sekejap mata, sebaliknya hendaklah selalu membawanya di malam dan siang hari, mengiringi setiap perkataan, perbuatan dan keyakinan.”
Hadirin rahimakumullah,
Kita tidak akan memiliki timbangan syari’at tanpa menimba ilmu agama dari para ulama Ahlussunnah yang terpercaya. Setiap kita menghadiri majelis-majelis ilmu agama, maka akan semakin kuat timbangan syari’at di tangan kita. Seseorang yang mempelajari dan memahami ilmu agama dengan baik, maka ia akan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang keji, antara yang halal dan yang haram, antara kekufuran dan keimanan, antara kiai dan peramal, antara ustadz dan dukun dan antara ulama dan penyihir.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..