Pendapat pertama mengatakan bahwa merayakan malam pergantian tahun baru adalah haram.
Hal itu berdasarkan pada pandangan bahwa tahun Masehi sebagai tahun Kristen. Dimana sejarah mengatakan bahwa kelahiran Yesus dijadikan landasan penetapan tahun 1 Masehi, yang pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Sehingga, apabila umat Islam merayakan tahun baru Masehi maka termasuk bagian dari kristen.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasuallah SAW
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.“ (HR. Ahmad)
Selain itu, di malam pergantian tahun baru banyak hal-hal negative daripada yang positif. Misalnya, merayakan tahun baru dengan berpesta miras, berzina, berfoya-foya, menyalakan kembang api yang sama sekali tidak ada gunanya.
Belum lagi membuang waktu malam hanya untuk menunggu pergantian tahun. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk menjalankan sholat malam bukan menyalakan kembang api di tengah malam.
Itulah alasan-alasan yang dijadikan dasar oleh pendapat yang mengharamkan perayaan tahun baru sekalipun bentuk kegiatan dzikir, tahlil dan doa bersama.
Hadirin Jamaah Sholat Jumah Rohimakumullah..
Kemudian, Pendapat kedua mengatakan bahwa merayakan tahun baru hukumnya boleh. Pendapat ini berfikir secara realisitis bahwa fenomena perayaan tahun baru tidak bisa dibendung.
Pendapat ini berfikiran bahwa daripada berkumpul di tempat-tempat maksiat sebaiknya berkumpul untuk doa bersama-sama.
Hadirin Jamaah Sholat Jumah Rohimakumullah..
Tampaknya, pola pikir pendapat kedua yang realistis ini lebih relevan dengan redaksi yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam menyikapi kemunkaran, yaitu “fal-yughayyirhu” yang berarti “maka ubahlah.”
Artinya, penanganan kemungkaran tidak melulu melalui prosedur larangan (nahi munkar); dapat juga melalui prosedur perubahan (transformasi). Inilah yang diteladankan Walisongo ketika mengubah cerita wayang yang biasanya didasarkan epos Ramayana dan Mahabarata yang bersifat politeisme, menjadi kisah-kisah Islami yang bersifat monoteisme (tauhid), seperti Kalimasada.
Jadi, daripada melarang Muslim merayakan tahun baru Masehi, namun realitanya pasti banyak yang ikut merayakannya; lebih baik menyediakan kegiatan-kegiatan yang terpuji di malam tahun baru Masehi, seperti mengadakan dzikir dan doa bersama.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..