Manusia, pada umumnya, adalah makhluk yang mudah takjub dan heran. Akal pikirannya akan bekerja, bertanya-tanya, dan berusaha memahami suatu peristiwa menakjubkan atau benda aneh di depannya.
Misalnya, ketika kita pertama kali melihat pesawat terbang, kita takjub dan heran, seakan-akan bertanya, bagaimana mungkin benda sebesar dan seberat itu bisa terbang; bagaimana caranya; siapa yang membuatnya, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya. Namun, ketika kita sudah sering melihatnya, ketakjuban kita perlahan-lahan memudar, kita tidak lagi menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan kita tidak lagi mempedulikannya.
Dengan demikian, ketakjuban dan daya kritis manusia bisa memudar dengan mudah tanpa perlu mendapatkan jawaban memuaskan. Selama hal-hal yang ditakjubi dan diherankannya sudah menjadi kebiasaan, dia perlahan-lahan abai akan hal itu.
Begitu pun dengan puasa. Ketika kita berpuasa, apresiasi kita terhadap hal-hal yang sering kita abaikan meningkat, seperti terhadap air putih dan nasi misalnya. Kita yang biasanya melihat itu “sepintas lalu” menjadi sangat berharga. Artinya, makanan dan minuman kembali pada nilai asalnya yang berharga.
Karena itu, puasa harus dijadikan titik ulang untuk menyemai kembali rasa syukur kita akan segala sesuatu. Diawali dengan kebutuhan pokok (makanan dan minuman), kemudian berlanjut ke pelbagai hal. Tapi sebelum itu, kita harus memahami terlebih dahulu, apa itu “syukur”.
Dalam kitab Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) membagi syukur dalam tiga kategori. Dia mengatakan:
والشكر علي ثلاثة أضرب: شكر بالقلب، وهو تصور النعمة. شكر باللسان، وهو الثناء علي المنعم. وشكر بسائر الجوارح، وهو مكافأة النعمة بقدر استحقاقه
“Syukur terdiri dari tiga tipe: (1) syukur dengan hati, yaitu pembayangan (atau penggambaran) nikmat (dalam hati), (2) syukur dengan lisan, yaitu pujian kepada pemberi nikmat, dan (3) syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas kenikmatan dengan kadar (atau derajat) yang pantas (didapatkan tubuh)” (Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyyah, 1996, juz 3, h. 334).
Itu artinya, syukur harus dilatih dan dihadirkan. Dan puasa adalah aktivitas pelatihan yang tepat untuk itu. Seperti yang disebutkan di atas, dengan puasa, tanpa sadar kita mulai mengapresiasi hal-hal yang seharusnya diapresiasi, seperti air minum, makanan dan lain sebagainya, yang sebelumnya sering kita abaikan nilainya.
Karena itu, kita harus mulai mengambil inisiatif untuk aktif bersyukur. Melatihnya dari yang paling ringan, bersyukur dengan hati dan lisan, kemudian meningkat ke arah bersyukur dengan seluruh anggota badan.
Penjelasannya begini, bersyukur dengan hati adalah aktivitas visualisasi nikmat yang kita dapatkan. Ini penting, karena visualisasi nikmat adalah pintu masuk menuju syukur dalam wilayah praksis. Tentu, tidak mungkin kita mampu memvisualisasi seluruh nikmat Tuhan kepada kita, karena jumlahnya tak berhingga. Namun, aktivitas ini menjadi penting untuk menyadarkan kita dari perasaan serba malang dan susah.
Contohnya, mungkin saja di satu sisi kita merasa susah dalam hal usaha, tapi di sisi lain kita sukses dalam hal kesehatan, dan seterusnya. Kemudian kita akan memasuki syukur dengan lisan, yaitu apresiasi dalam bentuk ucapan (pujian). Bisa dengan tahmîd, tasbîh, tahlîl dan lain sebagainya.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..