Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah pulang dari ibadah haji, dia tidak langsung kembali ke rumahnya, tetapi pergi langsung ke Damaskus, Syria. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.
Ketika dia sampai di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh Malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.
“Ada, di tepi kota,” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Setelah mencapai tempat itu, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. “Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?” tanya bin Al Mubarak.
“Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji yang diterima oleh Allah, padahal Anda tidak berangkat haji.”
“Saya sendiri tidak tahu, tuan.”
“Ceritakanlah kehidupan Anda selama ini.”
Ali bin Al Muwaffaq pun menceritakan, “Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk berhaji. Saya sudah siap untuk berangkat haji.”
“Tapi Anda tidak berangkat haji.”
“Benar.”
“Apa yang terjadi?”
“Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak berangkat, dia sangat mengidamkan aroma masakan yang lezat.”
“Istri memintaku untuk mencari siapa yang memasak, dan meminta sedikit untuk dibawa pulang,”.
“Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya,” ungkap Ali bin Al Muwaffaq.
Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, “Tidak boleh, tuan.”
“Apa pun harganya, saya akan membelinya.”
“Makanan ini tidak dijual, tuan,” katanya sambil meneteskan air mata.
“Mengapa?” tanya Ali.
Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, “Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan.”
Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal bagi dia, tapi haram bagi saya, padahal kita sama-sama muslim?” Karena itu, dia mendesaknya lagi, “Kenapa?”
“Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan,” janda itu menjelaskan dengan terisak.
Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.
“Kami membawa makanan untukmu.”
Saya memberikan 350 dirham, uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, kepada mereka. “Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi.”
Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Ali bin Al Muwaffaq, sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan haji.
Allah berfirman dalam Al Qur’an
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..