Hadirin Rahimakumullah..
Sekilas hadits di atas terasa aneh. Mengapa ketika berbuat dosa dan tidak jujur justru diampuni Allah, sedangkan orang yang jujur tidak mendapat ampunan?
Ketidakjujuran dalam kemaksiatan bukan berarti berbohong. Karena ketidakjujuran dalam hadits di atas adalah ketidakjujuran dalam arti tidak menceritakan kesalahan dan dosa. Setidaknya ada satu alasan penting tentang hal itu.
Orang yang berbuat dosa, kemudian jujur dan menceritakan kepada orang lain akan membuka kemungkinan dilakukannya dosa serupa dalam lingkup yang lebih luas. Ketika suatu kemungkaran diumbar begitu saja dan dianggap biasa, maka akan melahirkan gerakan masif untuk melakukan kemungkaran itu. Seperti korupsi, riba, menggunjing, dan kemaksiatan lainnya yang mungkin terasa biasa di sekitar kita.
Misalnya, seorang guru yang jujur berkata: “Saya dulu pernah melakukan berbagai maksiat, mabuk-mabukan, mencuri, dan berzina, kemudian saya bertaubat dan memperbaiki diri hingga akhirnya menjadi guru seperti sekarang”.
Bayangkan jika perkataannya didengar oleh murid, tentu bisa menimbulkan kemungkinan munculnya pemikiran bahwa mabuk-mabukan dan kemaksiatan lainnya adalah hal biasa di benak muridnya. Karena gurunya pernah melakukannya. Pun ketika anaknya jatuh melalukan dosa, mereka memiliki alasan: “Tidak apa-apa berbuat dosa seperti itu, dulu guruku juga melakukannya. Dia sendiri pernah bilang begitu.”
Padahal, mungkin tindakan guru menceritakan dosanya karena landasan kejujuran. Tetapi, apa artinya kejujuran jika pada akhirnya justru mencetak pelaku-pelaku baru dalam kemaksiatan?
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..