Benar. Rasulullah bersama sepuluh ribu pasukan, memasuki Makkah. Namun apa yang terjadi? Betapa indah sikap Rasulullah beserta para pengikutnya kala pertama masuk kota Makkah, pembantaian yang dikhawatirkan kaum musyrikin Quraisy sama sekali tidak terjadi.
Tak ada satu pun darah menetes. Patung-patung berhala di sekitar Ka’bah dihancurkan atas inisiatif masyarakat sendiri. Lebih indah lagi ketika Rasulullah di hadapan khalayak berpidato: Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi.
Jamaah yang Mulia
Subhanallah. Hati Abu Sufyan menjerit menyaksikan keagungan akhlak Nabi Muhammad, musuh bebuyutannya. Ternyata orang yang paling dibenci selama ini adalah orang yang paling memahami suasana batinnya yang sedang diselimuti ketakutan.
Pidato Nabi tak hanya membuatnya merasa aman, tapi juga kembali terangkat derajatnya karena merasa ‘disejajarkan’ dengan Masjidil Haram. Abu Sufyan pun masuk Islam, disusul anggota keluarganya dan para pengikutnya yang lain. Bahkan, putranya, Muawiyah bin Abu Sufyan, beberapa saat kemudian diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang pencatat wahyu.
Peristiwa ini disebut dalam sejarah sebagai fathu makkah (pembebasan Kota Makkah). Kekuatan politik yang mapan sama sekali tak menjadikan Rasulullah bertindak semena-mena. Padahal, bila mau, dengan kekuatan militer yang ada, Rasulullah bisa membinasakan mereka dalam waktu singkat.
Rasulullah sama sekali bukan pendendam. Justru dengan kenyataan inilah orang melihat keluhuran Islam sebagai agama yang beradab, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, selaras dengan misi Nabi Muhammad diutus, yakni sebagai penebar cinta bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Bila di pembukaan khutbah tadi disebut bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an, maka sifatnya memang mengamalkan sepenuh apa yang ada dalam Al-Qur’an:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS al-A’râf:199)
Sungguh memaafkan bukan tanda kelemahan atau kekalahan. Sebab, maaf hanya bisa lahir dari jiwa yang besar. Seseorang yang pemaaf sejatinya tidak hanya sedang menang telak atas musuh-musuhnya tapi juga sukses mengalahkan nafsu di dalam dadanya sendiri. Nafsu yang biasa mendorong manusia untuk meluapkan amarah, melampiaskan dendam, serta merasa paling tinggi dan merendahkan orang. Dengan membuka pintu maaf yang demikian luas, Nabi justru hendak menunjukkan bahwa pembalas dendam justru tak akan memperoleh kemuliaan.
Hal ini sesuai sabdanya:
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
Artinya: Dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan. (HR Muslim)
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..