Selagi orang tersebut berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), mereka memiliki hak yang sama di hadapan negara, baik itu beragama Islam, Kristen, Konghucu, Buddha, Hindu, atau agama lainnya. Mereka yang bersuku Dani, Asmat, Batak, Minang, Jawa, Sunda, ataupun Betawi juga tidak memiliki perbedaan di mata negara.
Bahkan, Nahdlatul Ulama mengeluarkan sebuah keputusan yang sangat penting dalam konteks hubungan masyarakat Muslim dan Non-Muslim di hadapan negara, yakni sama-sama warga negara (muwathin). Dengan begitu, konsekuensi hukum yang didapat di antara semua warga sama, tanpa pandang bulu agama ataupun suku.
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah swt,
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai seorang Muslim untuk menjaga hubungan baik kita dengan sesama warga negara, terlebih terhadap tetangga kita, meskipun berbeda agama. Sebab, mereka adalah orang terdekat kita. Jika terjadi sesuatu di rumah, tetangga inilah orang pertama yang perlu mengambil tindakan.
Sebagai ibrah, kita perlu belajar dari Imam Hasan al-Bashri. Selama 20 tahun, beliau menampung tetesan air seni tetangganya yang bocor di rumahnya. Tetangganya yang non-muslim itu mengetahui hal tersebut sudah terjadi 20 tahun tanpa pernah ada pembicaraan dari Sang Imam.
Hal itu ternyata membuat hati non-Muslim tersebut terenyuh. Sikapnya tersebut membuat tetangganya memeluk agama Islam. Perilaku Imam Hasan al-Bashri ini mengikuti sebuah hadis Nabi Muhammad saw.
مَنْ أَذَى ذِمِّيًّا فَقَدْ أَذَىنِيْ وَ مَنْ أَذَىنِيْ كُنْتُ خَصْمَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Siapa yang menyakiti orang kafir dzimmi (kafir yang tidak memerangi umat Islam), maka sungguh ia telah menyakitiku. Dan siapa yang menyakitiku, aku akan menjadi musuhnya di hari kiamat.”
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..