Zakat, juga infak, sedekah, dan sejenisnya merupakan ibadah yang utama dalam Islam, terlebih dilaksanakan pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Di samping pahala yang berlipat, zakat menjadi sarana penguat usaha seorang hamba mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan mempererat tali solidaritas terhadap sesama.
Profesor KH Quraish Shihab berpendapat bahwa ada fakta sangat menarik jika kita teliti redaksi Al-Qur’an tentang kewajiban berzakat. Kewajiban tersebut selalu digambarkan dengan kata “atu” suatu kata yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
Makna-maknanya antara lain istiqamah (bersikap jujur dan konsekuen), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan, mengantar kepada, seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain.
Jika makna-makna yang dikandung oleh kata tersebut dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban tersebut. Bahasa Al-Qur’an di atas, menurut beliau, menuntut agar:
Pertama, zakat dikeluarkan dengan sikap istiqamah sehingga tidak terjadi kecurangan – baik dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluarannya, dalam arti tidak menunda-nunda hingga waktunya berlalu.
Ketiga, mempermudah jalan penerimaannya, bahkan kalau dapat mengantarkannya kepada yang berhak sehingga tidak terjadi semacam pameran kemiskinan dan tidak pula menghilangkan air muka.
Keempat, mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk ini adalah seorang yang agung lagi bijaksana.
Kalau makna-makna di atas diperhatikan dan dihayati dalam melaksanakan kewajiban ini, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda pelaku kewajiban ini.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..