Pentingnya silaturahim ini diabadikan oleh Rasulullah ﷻ dalah haditsnya:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ والْيوم الآخِر فَلْيصلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ والْيوم الآخِر فليقل خيراً أوْ لِيَصْمُتْ
Dari hadits itu dapat diambil pelajaran bahwa untuk menjadi hamba Allah yang beriman membutuhkan tiga komitmen hidup: menghormati keluarga, menyambung tali silaturrahim dan selalu berbicara baik (atau lebih baik diam).
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar,
Dalam rangka menguatkan hidup saling bersaudara, Islam mengingatkan sebuah metode kehidupan sosial dengan menghormati lingkar masyarakat terdekat, yaitu tetangga. Jika bulan Syawal seperti ini, sudah tentu meminta maaf dan saling memberi maaf terpenting adalah kepada tetangga. Kemudian dilanjutkan dengan menyambung persaudaraan kepada semua lapisan masyarakat.
Dan indahnya, pesan Rasulullah ﷻ ditambahkan dengan perlunya menjaga lisan agar selalu bertutur kata yang baik, agar tidak membuat orang lain sakit hati. Ini senada dengan sebuah pesan akhlaq:
سَلَامَةُ اْلإنْسَانِ فِي حِفْظِ اللِّسَانِ
Artinya: “Keselamatan seseorang itu ada pada lisannya”
Maka doa Nabi Ibrahim meminta pada Allah agar terjaga dari tutur kata yang baik—agar membuat orang semakin hidup sempurna, sebagai berikut:
وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
Artinya: “Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. Asy Syu’ara’: 84)
Begitu pentingnya lisan manusia sebagai modal penguatan persaudaraan. Dan hari ini lisan tidak hanya dimaknai mulut manusia saja, tetapi bisa luas menjadi informasi media sosial. Jangan sampai membuat/ menyebarkan berita hoaks karena itu juga bagian dari kejahatan lisan.
Dan jangan sampai umat Islam menjadi agen pemutus tali persaudaraan yang secara tegas dilarang oleh Rasulullah ﷻ. Penegasan bahaya memutus silaturahim ini juga ditulis oleh Syaikh Zainuddin Al Malibari dalam kitab Irsyadul ‘Ibad.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar,
Di akhir khutbah ini, perlu kita renungkan dua ayat yang menjadi penanda penyambutan ‘idul fitri, yakni:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang (hari raya)” (QS. Al A’la: 14 – 15)
Allah ﷻ memberikan dorongan kepada umat Islam agar selalu mengingat kebesaran Allah dengan bertakbir khusus menyambut ‘idul fitri dan ‘idul adha. Orang bisa merasakan hakikat takbir jika sudah mendapat hidayah dari Allah sebagaimana penjelasan Ibnu Jarir At-Thabari dalam Tafir Jami’ul Bayan.
Di sisi lain, hari raya umat Islam juga disambut dengan shalat ‘id yang didahului dengan membersihkan diri dari perbuatan tercela, mengikuti Nabi Muhammad dan melaksanakan zakat harta—sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’anil Adzim.
Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah,
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..