Ayat ini kerap kita dengar dalam konteks kewajiban berhaji bagi yang mampu. Dijelaskanlah tolok ukur mampu mulai dari segi ekonomi, kesehatan fisik, transportasi, keamanan, dan lainnya.
Keterangan tersebut mengacu pada frasa dalam ayat: man-istathâ‘a ilaihi sabîlâ. Yang kerap tertinggal dari penjelasan tersebut justru frasa di awal: lillâh (untuk Allah).
Lillâh dalam ayat tersebut amat krusial karena merupakan ruh dari kewajiban haji. Semampu apa pun seseorang berhaji ia mesti memancangkan niatnya secara serius untuk semata karena dan kepada Allah Ta’âlâ. Jika kata “haji” secara bahasa berarti menyengaja, maka inti dari kesengajaan itu sepenuhnya tertuju pada maksud tulus menggapai ridha Allah Subhanahu Wa Taala.
Pertanyaannya: Bila keinginan kita ke Tanah Suci kembali meledak-ledak di musim haji ini, untuk siapa atau untuk apakah keinginan itu? Adakah yang terbesit selain beribadah kepada Allah di balik keinginan tersebut?
Jamaah Jumat Hafidhakumullâh
Di luar keperluan ibadah, haji tak dipungkiri memang mengandung kepentingan lain yang bersifat duniawi. Pertama, secara sosial, haji bisa membuat seseorang merasa “naik kelas”. Biaya haji yang tidak sedikit memberi kesan bahwa orang haji adalah orang mampu, mapan, dan kaya.
Gelar “haji” yang diperoleh sepulang nanti juga kian menambah citra kesalehan dan kehormatan diri. Dengan demikian status sosial pun meningkat dari “biasa-biasa” saja menjadi “luar biasa”.
Penyakit hati yang mengiringi kondisi ini biasanya adalah sombong, ujub, dan merasa “lebih” dari orang lain. Godaan jenis ini adalah yang paling sering menjangkiti jamaah haji atau siapa pun yang berkeinginan berangkat haji. Gejala ini biasanya tampak ketika sepulang haji seseorang banyak berubah pada tataran penampilan ketimbang perilaku.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..