وَلَيْسَ التَّوَكُّلُ إِهْمَالَ التَّدْبِيرِ بِالْكُلِّيَّةِ وَإِلَّا لَكَانَ الْأَمْرُ بِالْمُشَاوَرَةِ مُنَافِياً لِلْأَمْرِ بِالتَّوَكُّلِ بَلِ التَّوَكُّلُ هُوَ أَنْ يُرَاعِيَ الْإِنْسَانُ الْأَسْبَابَ الظَّاهِرَةَ وَلَكِنْ لَا يُعَوِّلُ بِقَلْبِهِ عَلَيْهَا بَلْ يُعَوِّلُ بِقَلْبِهِ عَلَى عِصْمَةِ اللَٰهِ وَإِعَانَتِهِ
Artinya, “Dan tidaklah tawakal itu berarti mengabaikan usaha secara keseluruhan, karena jika demikian maka perintah untuk bermusyawarah akan bertentangan dengan perintah untuk bertawakal. Namun, tawakal itu adalah ketika seseorang menjaga dan memperhatikan sebab-sebab yang tampak, tetapi tidak mengandalkan hatinya pada sebab-sebab tersebut, melainkan hatinya selalu mengandalkan pada perlindungan dan pertolongan Allah.”
Ma’asyiral Muslimin rahimakumulla
Tawakal merupakan amal hati. Artinya, tawakal bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Juga bukan merupakan sebuah wacana atau sekedar pengetahuan belaka.
Tawakal haruslah menjadi mental bagi umat muslim, terlebih setelah kita berjuang dengan sungguh sungguh di dalam bulan Ramadhan ini, kita haruslah khusnudzan dan bertawakal bahwa seluruh amal ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah ta’ala.
Ada dua cara seorang mukmin dapat tawakal kepada Allah ta’ala: Mengenal Allah. Tentu mengenal Allah di sini tidak mengenal secara secara harfiah yang berarti harus saling bertemu. Ulama Ahli Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa yang dimaksud mengenal Allah adalah dengan mengenal sifat sifat keagungan-Nya.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..