Menggunjing keburukan orang lain, dalam ayat yang kami baca di awal khutbah, diserupakan dengan memakan daging saudara sesama Muslim yang telah meninggal. Bagi siapa pun, hal itu tentulah sangat menjijikkan. Begitu pula dengan ghibah, semestinya kita juga sangat jijik untuk melakukannya.
Hadirin yang berbahagia,
Jadi ghibah adalah membicarakan saudara sesama Muslim yang masih hidup atau sudah meninggal, kecil maupun dewasa, mengenai keburukan yang ada padanya, yang tidak ia sukai seandainya ia mendengarnya. Baik keburukan yang dibicarakan itu terkait dengan fisik, nasab (asal usul keturunan), pakaian, rumah, atau perilakunya. Hal itu seperti ucapan: “Si Fulan pendek, kurang adab, pakaiannya kotor, kalah dan takut sama istrinya” dan kalimat-kalimat lain yang serupa, yang diketahui bahwa orang yang dibicarakan tidak suka akan hal itu seandainya ia mendengarnya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Apakah ghibah termasuk dosa besar atau dosa kecil? Hukumnya dirinci sebagai berikut. Jika ghibah dilakukan terhadap orang yang shaleh dan bertakwa, maka tergolong dosa besar. Sedangkan ghibah terhadap selain orang yang bertakwa, maka tidak dikatakan secara mutlak sebagai dosa besar.
Akan tetapi jika seorang Muslim yang fasiq digunjing keburukannya hingga batas yang berlebihan, maka hal itu termasuk dosa besar. Seperti berlebihan dalam menyebutkan keburukan-keburukannya hanya untuk kesenangan mengobrol saja. Dengan makna inilah dipahami hadits riwayat Abu Dawud dari Sa’id bin Zaid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا اسْتِطَالَةَ الرَّجُلِ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ (رَوَاهُ أَبُو دَاود)
Maknanya: “Sungguh termasuk dosa yang serupa dengan riba yang paling parah adalah ketika seseorang berlebihan dalam menodai kehormatan seorang Muslim tanpa hak” (HR Abu Dawud)
Istithalah (berlebihan dalam menodai kehormatan seorang Muslim) ini termasuk salah satu dosa yang terbesar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengategorikannya sebagai “Salah satu riba yang paling parah”.
Dalam hadits Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan: “Ketika aku dibawa Mi’raj, aku melewati sekelompok orang yang berkuku tembaga sedang mencakar-cakar muka dan dada mereka. Lalu aku bertanya: Siapakah mereka itu, Wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang menggunjing keburukan dan menista kehormatan orang lain” (HR Abu Dawud).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Sebagaimana diharamkan mengatakan ghibah, haram juga mendengarkannya. Allah ta’ala saat menyebutkan sifat sebagian orang yang dipuji-Nya berfirman:
وَاِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ اَعْرَضُوْا عَنْهُ وَقَالُوْا لَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ ۖسَلٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ لَا نَبْتَغِى الْجٰهِلِيْنَ (القصص: ٥٥)
Maknanya: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh” (QS al Qashash: 55)
Allah juga berfirman:
وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا (الفرقان: ٧٢)
Maknanya: “… dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al Furqan: 72)
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ القِيَامَةِ (رواه الترمذيّ)
Maknanya: “Barangsiapa yang membela kehormatan dan harga diri saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat” (HR at-Tirmidzi)
Oleh karena itu, tidak boleh mendengarkan ghibah dengan sengaja dan seksama, bukan semata terdengar. Jadi seseorang yang mendengar orang lain melakukan ghibah yang diharamkan serta mendengar penodaan terhadap kehormatan dan harga diri orang lain, maka ia wajib melarangnya dengan kekuatan dan kekuasaannya jika mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya, yakni dengan membenci di hati perkara mungkar tersebut serta meninggalkan tempat dilakukannya ghibah. Dengan begitu ia selamat dari dosa.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
يُبْصِرُ أَحَدُكُمُ القَذَاةَ فِي عَيْنِ أَخِيْهِ وَيَنْسَى الجِذْلَ أو الجِذْعَ فِي عَيْنِ نَفْسِهِ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ في الأدب المفرد)
“Salah seorang di antara kalian melihat kotoran yang jatuh di mata saudaranya dan lalai terhadap seonggok kayu yang tinggi dan besar di matanya sendiri” (Diriwayatkan al Bukhari dalam al Adab al Mufrad)
Apa yang disampaikan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu serupa dengan peribahasa “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Artinya aib dan kesalahan diri sendiri walaupun besar seringkali tidak kita sadari, sedangkan aib dan kesalahan orang lain tampak jelas dalam pandangan kita walaupun kecil dan sedikit.
Karenanya, hendaklah kita menyibukkan diri dengan aib dan kesalahan sendiri. Kita berupaya terus untuk memperbaiki diri. Janganlah kita usil dengan aib dan keburukan orang lain.
Janganlah kita bicarakan keburukan orang lain, karena seringkali keburukan orang lain yang kita bicarakan ada pada diri kita juga. Membicarakan keburukan orang lain hanya akan menimbulkan pertengkaran dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Baca halaman berikutnya..