Bersyukur dengan lisan berkaitan erat dengan bersyukur dengan hati. Sebab, setelah melakukan proses visualisasi nikmat, kita pasti tersadar bahwa pujian setinggi dan sebesar apapun tidak akan menyetarai segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Di samping kemampuan kita bersyukur juga berasal dari-Nya. Nabi Dawud ‘alaihissalam ketika mendengar firman Allah (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, untuk bersyukur”, dia berkata:
يا رب، كيف أشكرك، والشكر نعمة منك؟ قال: الآن شكرتني حين علمت أن النعمة مني
“Wahai Tuhan, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal syukur adalah nikmat (pemberian)-Mu (juga)?” Allah berfirman: “Sekarang kau telah bersyukur kepada-Ku, karena kau telah tahu bahwa nikmat itu berasal dari-Ku” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: al-Faruq al-Haditshah li al-Thiba’aj wa al-Nasyr, 2000, juz 11, h. 267).
Perasaan “tahu” atas ketidakmampuan mensyukuri seluruh nikmat Allah sangat penting dimiliki manusia. Karena dapat mendorong keistiqamahan dalam bersyukur. Orang yang mengetahui dan menyadari hal ini akan malu jika berhenti, atau akan terus berusaha untuk terhindar dari kelalaian bersyukur kepada-Nya. Karena ia tahu, seberapa sering dan banyak syukurnya, tidak mungkin menyetarai nikmat yang diterimanya.
Berikutnya adalah syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas nikmat dengan perbuatan dan derajat yang pantas didapatkan tubuh. Maksudnya adalah, memenuhi hak-hak tubuh, baik jasmani maupun ruhani. Hak-hak jasmani seperti menjaga kesehatan, memenuhinya dengan nutrisi, gizi, makanan halal, dan lain sebagainya.
Hak-hak ruhani seperti menjaga mata, telinga, lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari hal-hal buruk, dan mengarahkannya untuk melihat, mendengar, melakukan, dan berjalan kepada kebaikan, pengetahuan dan keberkahan.
Karena itu, Sayyidina Muhammad bin Ka’b al-Qurdhi (w. 108 H) mengatakan:
الشكر تقوى الله والعمل الصالح
“Syukur adalah bertakwa kepada Allah dan (melakukan) amal saleh” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 11, h. 266).
Bertakwa menjauhi larangan-Nya, mengerjakan perintah-Nya, dan beramal saleh karena-Nya, merupakan bentuk syukur kepada Allah. Dengan kata lain, anugerah Allah berupa seluruh anggota tubuh, dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu kebaikan dan tidak berbuat kerusakan.
Maka dari itu, bulan Ramadhan merupakan saat terbaik untuk menghadirkan “syukur” secara nyata, merasai dan melekatkannya dalam kehidupan kita. Karena pada dasarnya, jika penjiwaan syukur telah tertanam, segala hal akan dikerjakan sebagai ungkapan syukur atas nikmat-nikmat-Nya, seperti perintah Allah kepada keluarga Dawud (QS. Saba’: 13): “bekerjalah, wahai keluarga Dawud, untuk bersyukur.”
Pertanyaannya, siapkah kita memulainya? Wallahu a’lam bish-shawwab…..
*Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen