Itulah indahnya ajaran Islam, harmoni masyarakat tidak sekadar diwujudkan dengan sikap saling tenggang rasa tetapi juga saling membantu dan saling menguatkan. Masing-masing dari kita punya kelebihan dan kekurangan.
Konsekuensi hidup bersama adalah terjadinya saling melengkapi dari kekurangan-kekurangan itu. Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah, Rasulullah bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Artinya: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi).
Keutamaan menyediakan hidangan bagi orang berbuka puasa yang disebut-sebut dalam hadits ini semestinya juga bisa kita maknai secara lebih luas. Bukan semata menyodorkan cemilan takjil di masjid atau di jalan-jalan, melainkan juga memberi makan atau mencukupi kebutuhan mereka yang sedang didera kelaparan.
Dari sini kita akhirnya bisa juga mengimplementasikan keistimewaan “menghidangkan buka puasa” di luar bulan Ramadhan karena fenomena “puasa” kaum fakir miskin selalu ada sepanjang masa. Lapar, haus, dan kesulitan memenuhi kebutuhan primer lainnya memang menjadi “rutinitas” mereka.
Selalu ada rahasia di balik ibadah. Dan, nilai bijak di balik praktik puasa salah satunya adalah membelenggu nafsu tamak terhadap kekayaan yang melenakan. Kenyang yang keterlaluan memang bisa membuat orang bermalas-malasan, mengantuk, bahkan tertidur.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..