Dalam hal perbedaan yang diiringi dengan perdamaian, kita dapat meniru kisah antara sayyidah Aisyah dengan sayyidina Ali, di kala keduanya berbeda dalam urusan politik.
Kisah ini diceritakan dalam buku ensiklopedia Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang ditulis secara komprehensif oleh Syekh Alawi bin Abdil Qadir Assegaf.
Sebagaimana yang kita ketahui, pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, umat Islam terbelah menjadi dua golongan, khususnya ketika di akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan hingga terbunuhnya beliau dan digantikan oleh Ali.
Ali bin Abi Thalib yang sebelumnya berperan sebagai penengah antara pemberontak dan Utsman, akhirnya dengan terpaksa dipilih sebagai khalifah oleh penduduk Madinah, meskipun awalnya menolak. Pengangkatan Ali menimbulkan ketidakpuasan pada diri sayyidah Aisyah, yang kala itu berada di Makkah.
Menurut sayyidah Aisyah, seharusnya pembunuh khalifah Utsman ditemukan dan diadili dahulu, barulah Ali dipilih oleh masyarakat dalam kondisi damai dan tenang. Pendapat Aisyah ini berbeda dengan masyarakat Madinah yang menimbang kepemimpinan tidak boleh kosong dan harus tetap berjalan.
Sejak saat itu hubungan keduanya agak bersinggungan dalam perihal pandangan politik hingga sayyidah Aisyah menuntut agar kasus pembunuhan Utsman dituntaskan hingga kian hari keadaan antara pendukung sayyidina Ali dan sayyidah Aisyah kian memanas dan terjadilah peristiwa Perang Jamal atau Perang Unta.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,
Kendati keduanya pernah terlibat dalam perbedaan politik, akan tetapi pada hakikatnya sayyidah Aisyah dan sayyidina Ali tidak ingin berperang, bermusuhan, apalagi saling mencaci. Keadaan dan kondisi politiklah yang membuat keduanya terpaksa berbeda dalam menentukan langkah, ditambah oleh dorongan pengikut mereka.
Bahkan diriwayatkan dalam Tarikh ath-Thabari dikisahkan keduanya pernah saling bertemu di kala kondisi politik memanas dan Ali menyapa serta menanyakan kabarnya, “Wahai Ummul Mu’minin, bagaimana kabar Anda?” “Baik, Alhamdulillah.” Jawab ‘Aisyah “Semoga Allah senantiasa mengampuni Engkau.” Ujar Ali mendoakan sayyidah Aisyah.
Selain itu, diceritakan pula dalam Tarikhul Madinah karya Ibnu Syabah bahwa sayyidah Aisyah tidak pernah sama sekali ingin memakzulkan kepemimpinan Ali. Beliau murni hanya ingin keadilan ditegakkan dan pelaku Utsman ditemukan.
Sayyidah Aisyah juga sangat objektif dan tidak emosional dalam bersikap pasca selesainya peristiwa besar itu. Tatkala Syuraih bin Hani` datang kepada sayyidah Aisyah untuk menanyakan bagaimana tatacara mengusap khuf atau sepatu, sayyidah Aisyah merekomendasikan Syuraih agar bertanya kepada sayyidina Ali yang cukup mapan dalam mengetahui praktik penyuciannya.
Begitupun dengan sayyidina Ali, dalam pandangan serta akal sehatnya ia pernah menyebutkan, “Andai saja seorang perempuan dapat diangkat menjadi khalifah, maka yang pantas menduduki jabatan tersebut tentu saja Aisyah.” (‘Alawy bin ‘Abdil Qadir, dkk, Aisyah Ummul Mu’minin, [Saudi: Muassasash ad-Durar as-Saniyyah, 2013], hal. 281).
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..