Salah satu dari sikap Rasulullah yang perlu kita contoh adalah luasnya hati dalam memberi maaf. Nabi Muhammad adalah seorang yang hidupnya sarat dengan ujian, terlebih saat pertama kali menapaki proses dakwah. Serangan bertubi-tubi menimpanya dari orang-orang yang merasa terusik, mulai dari hinaan, fitnah, pelemparan kotoran, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan.
Dari berbagai rintangan itulah, umat justru dapat memetik pelajaran luar biasa dari Rasulullah ini. Rasulullah pernah difitnah gila karena menceritakan sesuatu yang belum bisa dicerna oleh akal kaum musyrik saat itu, pernah dirayu dengan harta dan perempuan agar menghentikan dakwahnya, dicekik ketika beribadah di sekitar Ka’bah, dilempar batu hingga berdarah kala hijrah ke Thaif, sampai secara diam-diam dibuntuti musuh perjalanannya untuk bisa dipenggal kepalanya dari belakang.
Dari rangkaian teror psikologis dan teror fisik tersebut, Rasulullah melaluinya dengan kuat dan tegar. Nabi tetap teguh dengan prinsip-prinsip tauhid yang diyakininya dan berdakwah, memperbaiki moral masyarakat yang bejat, dan membangun kehidupan yang lebih adil dan manusiawi. Meskipun, tekanan demi tekanan, penganiayaan demi penganiayaan, sempat membuat Nabi dan para pengikutnya terpaksa hijrah ke tempat lain.
Hadirin yang Berbahagia
Ketika cahaya Islam kian gemilang, pengikut Rasulullah semakin banyak, dan proses hijrah Nabi ke Madinah kian mematangkan kekuatan kaum muslimin, masyarakat Quraisy ketar-ketir masa depan mereka bakal terancam.
Puncaknya terjadi pada tahun 630 hijriah, sejak Perjanjian Hudaibiyah dilanggar kaum musyrikin Quraisy. Karena dirusak, perjanjian hudaibiyah yang berisi kesepakatan untuk gencatan senjata pun secara otomatis mengizinkan kaum muslimin mengadakan pembelaan lantaran mereka didzalimi.
Suasana Makkah begitu mencekam tatkala sepuluh ribu pasukan muslim dari Madinah tampak berjalan menuju Makkah. Kekuatan ini hampir mustahil ditandingi kaum musyrikin Quraisy yang kian meredup. Abu Sufyan, dedengkot kafir Quraisy, adalah orang yang paling tercabik-cabik jiwanya. Jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan nyawanya pun seolah tak lagi berarti melihat kenyataan ia bakal dibinasakan oleh orang-orang yang selama ini dia aniaya.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..