Jamaah Rahimakumullah
Saat ini kita sedang berada di minggu akhir di bulan Rajab. Mungkin ada yang belum puasa, silahkan menyempatkan untuk melaksanakannya. Karena bulan Rajab adalah bulan mulia. Nabi Muhammad dalam memperhatikan bulan Rajab sampai memanjatkan doa yang sebagaimana diriwayatkan oleh Anas Ibn Malik dalam Musnad Ahmad:
أَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Artinya: Ya Allah, semoga Engkau memberkahi kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, semoga Engkau pertemukan kami dengan bulan Ramadlan.
Seolah-olah Rajab merupakan persiapan awal untuk menyambut bulan Ramadlan. Ia menjadi tonggak dari rangkaian ibadah-ibadah penting pada bulan yang jatuh setelahnya, yaitu bulan Sya’ban dan Ramadlan.
Sebagian ulama berkata:
رَجَبُ شَهْرُ الزَّرْعِ وَشعْبَانُ شَهْرُ السَقْيِ وَرَمَضَانُ شَهْرُ الْحَصَادِ
Artinya: Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah bulan untuk menyirami, dan Ramadlan adalah bulan panen.
Maka dari itu, marilah kita gunakan bulan Rajab ini dengan sebaik-baiknya dengan memperbanyak amal salih, istighfar, sedekah, puasa dan lain sebagainya.
Hadirin yang Dirahmati Allah
Sebagaimana kisah yang telah masyhur, pada bulan Rajab juga terdapat peristiwa ajaib dan mengagumkan, berupa Isra’ wal Mi’raj. Yakni perjalanan Nabi dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsha kemudian menuju Sidratul Muntaha. Atas peristiwa tersebut ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari cerita Isra’ dan Mi’raj tersebut. Dua diantaranya yaitu:
Pertama, Isra’ dan Mi’raj adalah perkara yang haq karena sharih (sangat jelas dan eksplisit) disebutkan dalam Al-Qur’an, sebuah kejadian yang pasti terjadi, pasti benar, tak ada keraguan sama sekali meskipun akal manusia tidak dapat menjangkau.
Semua hal aneh ini terjadi dalam rangka menguji dan mengukur ketebalan iman seseorang, sebab manusia tersesat adalah orang yang hanya mengukur sebuah kebenaran hanya bersandar pada akal semata.
Kita harus menghindari arus pemikir yang hanya membanggakan akal dengan mengesampingkan kekuatan Allah yang lain. Karena tidak mustahil jika pola pikir demikian dilestarikan akan menjadikan ajaran agama yang tidak cocok dengan akal akan ditolak dan diingkari, na’udzubillahi min dzalik.
Padahal model demikian adalah cara pandang iblis. Iblis itu disifati dengan:
أَوَّلُ مَنْ قَاسَ الدِّيْنَ بِرَأْيِهِ
Artinya: Makhluk yang pertama kali mengukur kebenaran agama dengan akalnya sendiri.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..