Syekh Nuruddin Al-Harawi Al-Qari (wafat 1014 H) dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz IV, halaman 352, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ziyadah (peningkatan-penambahan) pada hadits di atas adalah dengan bertambahnya ilmu, ibadah, dan segala bentuk kebaikan. Bukan bertambahnya dunia dan jabatan. Sebab, keberuntungan selalu berpihak pada orang yang meningkatkan ketaatan dan kebaikannya, bukan dunia dan jabatannya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Berkaitan hal ini, Allah swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu introspeksi perihal apa yang akan menjadi bekalnya menuju akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr: 18).
Imam al-Qusyairi (wafat 465 H) dalam kitab tafsir Lathaiful Isyarat atau Tafsir Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ayat di atas memiliki dua arti ketakwaan, yaitu:
1. Meningkatkan ketakwaan dengan cara memikirkan balasan yang akan didapatkan kelak di akhirat atas perbuatan baik dan buruk yang dilakukan di dunia;
2. Mmeningkatkan ketakwaan dengan cara mawas diri dan introspeksi, yaitu dengan memaksimalkan waktunya untuk menambah ketaatan. Dengan kata lain, menumbuhkan semangat baru di hari-hari baru yang dihadapi oleh setiap orang.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..