“Salah satu dari kalian mampu melihat kotoran kecil di pelupuk temannya, tapi lupa dengan batang kayu yang menutupi matanya sendiri.”
Mengawasi dan memperhatikan aib atau kesalahan pada diri sendiri, tidak mengawasi aib orang lain, lalu berusaha maksimal memperbaikinya adalah pangkal atau sumber keberuntungan. Kanjeng Nabi Muhammad saw bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ. (رواه البزار)
“Sungguh beruntung orang yang disibukkan oleh aibnya daripada (sibuk) dengan aib orang lain.” HR. Al-Bazzar
Dalam rangka mawas diri, kiranya pantas kita mengingat kembali pesan Sayyidina Ali karramallahu wajhah, sebagaimana termaktub dalam kitab Nashaihul Ibad karya Ibnu Hajar al-Asqalani:
كُنْ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرَ النَّاسِ وَكُنْ عِنْدَ النَّفْسِ شَرَّ النَّاسِ وَكُنْ عِنْدَ النَّاسِ رَجُلًا مِنَ النَّاسِ
“Jadilah manusia paling baik di sisi Allah, dan jadilah manusia paling jelek dalam pandangan dirimu, serta jadilah manusia biasa di hadapan orang lain”.
Pesan ini memberikan arahan yang sangat luar biasa bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan ini agar terus memperbaiki diri, menghargai dan tidak meremehkan orang lain, demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat:
Hendaknya kita terus meningkatkan ketaqwaan dan amal kebaikan serta menjahui larangan. Sehingga kita bisa menjadi manusia yang baik di sisi-Nya.
Kita harus terus merasa kurang atas amal kebaikan yang kita lakukan serta merasa diri kita jelek. Hal ini bukan berarti merendahkan diri, namun untuk menjauhkan kita dari sikap ujub (sombong), riya’ (pamer), dan sum’ah (mengharap pujian orang lain).
Menundukkan diri di hadapan orang lain dengan tidak merasa lebih baik. Mungkin banyak di antara kita ketika melihat orang lain, merasa dirinya lebih baik atau lebih mulia.
Jamaah shalat Jum’at hafidhakumullah,