Artinya, semakin banyak aktivitas ‘ubûdiyah seorang hamba menandakan dirinya kian dekat dengan Tuhannya, setidaknya secara kasat mata. Namun, yang penting pula diperhatikan adalah rambu-rambu yang digariskan Rasulullah soal nilai keimanan seseorang. Beliau pernah bersabda:
وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Demi Allah, tidak beriman seorang hamba kecuali ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Kata lâ yu’minu tidak bermakna kafir dalam pengertian teologis. Sebagian ulama menafsirkannya dengan ‘tidak sempurna iman seseorang’. Ini selaras dengan pernyataan bahwa seorang mukmin sejati pastilah akan menaruh kasih sayang kepada orang lain setara ketika ia mengasih-sayangi diri dan keluarganya sendiri. Bila hal demikian tak terjadi, sesuai sabda Nabi, maka iman orang bersangkutan dianggap tidak sempurna. Hadits ini mengurai tentang keimanan yang ternyata tak semata-mata berhubungan dengan Allah, tapi juga dengan kehidupan antara manusia dengan lainnya. Relasinya tak hanya bersifat horizontal, tapi juga vertikal, hablum minallâh dan hablum minannâs.
Jamaah yang Berbahagia
Yang menarik, Rasulullah menggunakan kata li jârihi (kepada tetangganya) tanpa memberikan atribusi apa pun ‘tetangga yang mana dan seperti apa’. Artinya, kasih sayang sosial ini bermakna luas kepada siapa pun, tanpa melihat apakah ia pribumi atau pendatang, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, suku ini atau suku itu, bahkan agama A atau agama B.
Hadirin Rahimakumullah
Dengan demikian keimanan tidak selalu diukur berdasarkan jumlah ibadah seorang kepada Allah SWT. Intensitas seseorang dalam mengerjakan ibadah wajib maupun sunah tidak memastikan kesempurnaan iman seseorang. Ini bukan berarti ibadah tidak penting. Hanya saja yang patut diperhatikan bahwa Islam tidak hanya meminta umatnya percaya kepada Tuhan, kemudian beribadah terus-menerus, tetapi juga mendorong kita untuk peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Ibadah itu sangat penting, namun peka dan menebar kasih sayang kepada sesama juga tidak kalah penting. Dalam Al-Qur’an sendiri, perintah shalat selalu disandingkan dengan perintah zakat. Aqîmus shalâh wa âtuz zakâh (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat). Shalat mewakili perintah agar seorang hamba menjalin hubungan baik dengan Allah, sedangkan zakat mewakili perintah agar manusia peduli dan membantu sesama.
Hadirin Rahimakumullah
Keterangan ini semakin menegaskan bahwa manusia tercipta bukan hanya sebagai makhluk individual tapi juga makhluk sosial. Sebagai makhluk yang bersentuhan dengan masyarakat, manusia ditekankan oleh Islam untuk memperhatikan kemaslahatan dan kemudaratan yang berkembang di lingkungan sekitar. Hati orang yang beriman tak akan tega menyaksikan penderitaan orang lain sementara dirinya bersenang-senang.
Mukmin sejati tak mungkin berdiam diri kala menyaksikan tetangganya dalam kesulitan. Hamba dengan iman yang sempurna yang tampak dalam dirinya sifat-sifat gemar menolong, bersedekah, dan lain-lain. Dan hal itu dilakukan tanpa mengharap imbalan apa pun, tulus, sebagaimana dilakukan itu kepada dirinya sendiri.
Tentang hal ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani juga pernah mengatakan: Jika kamu menyukai makanan enak, pakaian bagus, rumah mewah, perempuan cantik, dan harta yang berlimpah, sementara pada saat yang sama kamu menginginkan agar saudara muslimmu mendapatkan kebalikannya, maka sungguh bohong bila kamu mengaku memiliki iman yang sempurna.
Lanjut halaman berikutnya…