MUKADDIMAH KHUTBAH PERTAMA
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَكْرَمَ مَنِ اتَّقَى بِمَحَبَّتِهِ وَأَوْعَدَ مَنْ خَالَفَهُ بِغَضَبِهِ وَعَذَابِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ بِالْهُدَى وَالدِّيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ الله وَخَيْرِ خَلْقِهِ، وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Kenapa lidah perlu dijaga oleh gigi yang begitu rapi, rapat, dan kokoh, bahkan dikunci dengan dua bibir? Secara filosofis karena lidah lebih tajam dari mata pedang yang dapat menembus ulu hati yang menyakiti seseorang. Pedang menyayat tubuh masih mudah diharapkan sembuh, tapi jika lidah menyayat hati ke mana obat hendak dicari?
Dalam falsafah Batak ada nasihat dalam bertutur kata, yakni Jolo ni dilat bibir asa nidok hata (jilat dulu bibir[mu] sebelum berbicara). Artinya, berpikirlah dulu lalu bicara; apa isi perkataan, apa dampaknya, apakah akan mendatangkan kebaikan atau keburukan.
Karena dalam falsafah Batak yang lain juga mengingatkan: “Hata do uli, hata do jea” yang memiliki arti “perkataan adalah kebajikan dan perkataan adalah malapetaka”. Alfred Korzybski, seorang peletak dasar teori general semantics menyatakan bahwa penyakit jiwa, baik individual maupun sosial, timbul karena penggunaan tutur kata yang tidak benar.
Maka dari itu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pernah mengucapkan suatu doa yang sangat penting. Doa itu diabadikan dalam QS As-Syuara’ ayat 84. Doa tersebut merupakan harapan dan keinginan Nabi Ibrahim agar orang-orang yang hidup setelahnya tetap menghormatinya dengan ungkapan-ungkapan yang baik.
وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ
“Dan jadikanlah aku buah tutur kata yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.”
Sayyidina Ali dalam maqalahnya menyebutkan:
إنَّ لِسَانَ الْمُؤمِنِ مِنْ وَرَاء قَلْبِهِ. وَإنَّ قَلْبَ الْمُنَافِقِ مِنْ وَرَاءِ لِسَانِه. لِأَنَّ الْمُؤمِنَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِكَلَامٍ تدَبَّرَهُ فِي نَفْسِهِ. فَإنْ كَانَ خَيرًا أَبدَاهُ. وَإنْ كَانَ شَرًّا وَارَاهُ. وَإنَّ اْلمُنَافِقَ يَتَكَلَّمُ بِمَا أَتَى عَلَى لِسَانِهِ لَا يَدْرِي مَاذَا لَهُ وَمَاذَا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya perkataan orang mukmin berasal dari hatinya. Sedangkan hati orang munafik berasal dari lisannya. Karena orang mukmin ketika ingin berbicara, ia renungkan terlebih dahulu, jika baik, maka ia akan melanjutkan perkataannya. Jika berdampak buruk, maka ia akan meninggalkannya. Sedangkan orang munafik berbicara dengan lisannya saja. Ia tidak tahu dampak baik dan buruknya.”
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..