Dalam situasi terpojok, Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri memberontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menanggapi hinaan ini, Ali justru semakin pasif. Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh, hingga beberapa saat. Sikapnya yang tak mau melakukan penyerangan terhadap Amr yang meludahi wajahnya menimbulkan tanda tanya. Para sahabat yang menyaksikan penasaran: apa alasan Sayyidina Ali bersikap demikian?
Ternyata jawaban Sayyidina Ali membuat kalangan terhenyak.”Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah subhânahû wata‘âlâ.”
Hadirin Rahimakumullah
Penggalan kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang hakikat jihad, yang oleh sementara kelompok kadang dimaknai secara serampangan. Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan Ali, tapi proses peperangan ini memberi pesan bahwa perjuangan dan pembelaan Islam mesti dibangun dalam landasan dan etika yang melebihi sekadar luapan kebencian dan kemarahan. Sayyidina Ali menjadikan Allah sebagai satu-satunya dasar. Komitmen ini mudah terucap tapi sangat sukar dalam praktiknya.
Teriakan takbir atau pengakuan diri sebagai pemegang tauhid belum sepenuhnya menjamin seseorang bertindak tanpa terpengaruh oleh ego atau nafsu pribadinya: nafsu merasa benar sendiri, nafsu tak ingin tersaingi, serta nafsu membenci dan memusuhi. Karena itu memang menjadi pekerjaan hati, lebih dari aktivitas fisik dan emosi.
Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam sendiri memposisikan jihad dalam pengertian fisik sebagai jihad yang kalah tingkat dari jihad mengendalikan hawa nafsu. Karena seperti diceritakan bahwa sepulang dari perang Badar, Nabi pernah bersabda:
رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ
Artinya: Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya: Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab: Jihad (memerangi) hawa nafsu.
Hadirin Rahimakumullah
Di sinilah letak kedalaman Islam. Jihad tak hanya dimaknai sebagai perjuangan fisik tapi juga perjuangan batin. Jihad fisik yang berhasrat memenangkan pihak lain tapi secara tak sadar membuat diri pelakunya kalah dari egonya sendiri. Sungguh menghadapi nafsu diri sendiri yang tak tampak lebih berat ketimbang menghadapi musuh di depan mata yang terlihat.