Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا لِمَنْ؟، قَالَ صلى الله عليه وسلم: للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ (رواه مسلم)
Maknanya: “Agama memerintahkan nasihat (berbuat kebaikan),” ditanyakan kepada Nabi: Kepada siapa?, Nabi menjawab: “Kebaikan kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kepada kaum muslimin secara umum (yang bukan pemimpin)” (HR Muslim)
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Di antara contoh nasihat adalah apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i seperti yang diceritakan dalam Siyar A’lam an-Nubala’ dan lainnya berikut ini. Imam Syafi’i menjadikan Muhammad bin ‘Abdul Hakam seperti layaknya saudaranya sendiri.
Imam Syafi’i begitu mencintainya, dekat dengannya dan penuh perhatian terhadapnya. Muhammad ini juga mulazamah kepada Syafi’i, mendalami ilmu fiqh dan berbagai ilmu kepadanya, bermadzhab dengan madzhabnya dan banyak berbuat baik kepadanya.
Melihat kesungguhan mahabbah dan persaudaraan antara keduanya, banyak orang mengira bahwa Imam Syafi’i akan menyerahkan halaqah ilmunya di Masjid Jami’ ‘Amr bin ‘Ash setelah ia wafat kepada Muhammad bin ‘Abdul Hakam.
Pada saat Imam Syafi’i sedang sakit menjelang wafatnya -dan waktu itu Muhammad bin ‘Abdul Hakam tengah berada di dekat kepala Imam Syafi’i sehingga mudah untuk menunjuknya-, dikatakan kepadanya: Kepada siapakah kami belajar setelah anda, wahai Abu ’Abdillah?.
Imam Syafi’i rahimahullah menjawab: “Belajarlah kalian kepada Abu Ya’qub al-Buwaithi.” Al-Buwaithi adalah murid terbesar Imam Syafi’i dan dinilai oleh Imam Syafi’i lebih alim dan lebih utama. Karenanya, Imam Syafi’i melakukan nasihat dan berbuat baik terkait dengan Allah ‘azza wa jalla dan kaum muslimin, dan tidak melakukan mudahanah (melakukan kesalahan untuk menjaga hubungan dengan orang tertentu).
Imam Syafi’i tidak lebih mementingkan ridla makhluk daripada ridla Allah. Ia mengarahkan orang-orang untuk belajar kepada al-Buwaithi dan lebih memilihnya daripada Muhammad bin ‘Abdul Hakam.
Hal itu dikarenakan dalam penilaian Imam Syafi’i, al Buwaithi lebih layak mengajar, lebih dekat kepada sikap zuhud dan wara’, cepat meneteskan air mata, kebanyakan hari-harinya diisi dengan dzikir dan mengajarkan ilmu, dan malamnya kebanyakan diisi dengan tahajjud dan membaca al-Qur’an.
Imam Syafi’i juga mempercayai al-Buwaithi untuk berfatwa dan mengarahkan orang yang meminta fatwa kepadanya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..