Dipahami dari hadits di atas bahwa ibu didahulukan atas bapak dalam hal berbakti kepadanya. Hal itu dikarenakan keletihan dan kelelahannya dalam merawat anak dengan penuh kasih sayang serta berbagai kesulitan yang dilaluinya, seperti saat mengandung, rasa sakit saat melahirkan, rasa letih saat menyusui dan rasa lelah saat mengurus dan merawat anak hingga sering kali tidak tidur di malam hari.
Suatu ketika sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma melihat seorang laki-laki menggendong ibunya di punggungnya thawaf mengelilingi Ka’bah. Laki-laki itu lalu bertanya kepada Ibnu ‘Umar: Wahai Ibnu ‘Umar, apakah Anda menilai aku telah memenuhi hak ibuku? Ibnu ‘Umar menjawab:
وَلَا بِطَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ طَلْقَاتِهَا وَلٰكِنْ قَدْ أَحْسَنْتَ وَاللهُ يُثِيْبُكَ عَلَى الْقَلِيْلِ كَثِيْرًا
“Belum, bahkan sama sekali tidak sebanding dengan satu di antara sekian kali rasa sakit yang dialaminya saat melahirkan, akan tetapi engkau telah berbuat baik kepadanya, dan mudah-mudahan Allah membalasmu atas kebaikan yang sedikit ini dengan balasan yang banyak.”
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Di antara kisah yang menunjukkan keagungan berbakti kepada ibu adalah kisah seorang laki-laki yang shaleh, yang bernama Bilal al-Khawwash. Ia bercerita: “Suatu ketika aku sedang berada di padang yang dahulu Bani Israil pernah tersesat di sana (sebuah padang yang tandus yang dinamakan Tîh Banî Isrâ-îl, karena kaum Nabi Musa tersebut pernah tersesat di sana selama 40 tahun akibat tidak mengikuti perintahnya). Tiba-tiba aku mendapati seseorang yang berjalan mengiringiku. Aku mendapatkan ilham bahwa orang itu adalah al-Khadhir ‘alaihissalam. Lalu aku bertanya kepadanya tentang Malik bin Anas. Ia menjawab: “Malik adalah panutan para imam.” Lalu aku bertanya kepadanya tentang asy-Syafi’i. Ia menjawab: “asy-Syafi’i adalah salah seorang awtad (para wali yang berderajat tinggi).” Lalu aku bertanya kepadanya tentang Ahmad bin Hanbal. Ia menjawab: “Ahmad adalah seorang shiddiq (para wali yang berderajat tinggi).” Lalu aku bertanya kepadanya tentang Bisyr al-Hafi. Ia menjawab: “Setelahnya, tidak ada orang yang sepertinya.” Lalu aku bertanya kepadanya: Aku bertanya kepadamu demi Allah yang pasti ada-Nya, siapakah Anda ini? Ia menjawab: “Aku adalah al-Khadhir.” Lalu aku bertanya kepadanya: Apakah wasilah amal yang membuatku bisa bertemu anda? Ia menjawab: “Karena engkau berbakti kepada ibumu.”
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Jika berbakti kepada orang tua berpahala sangat agung, maka durhaka kepada keduanya adalah dosa besar. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ الذُّنُوْبِ يُؤَخِّرُ اللهُ مِنْهَا مَا شَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلَّا عُقُوْقَ الْوَالِدَيْنِ، فَإِنَّهُ يُعَجَّلُ لِصَاحِبِهِ (رواه الحاكم)
Maknanya: “Balasan dari setiap dosa akan Allah tangguhkan sesuai dengan kehendak-Nya sampai hari kiamat, kecuali durhaka kepada kedua orang tua, sesungguhnya Allah akan mempercepat siksaan bagi pelakunya” (HR al-Hakim).
Hadirin jama’ah shalat Jumat rahimakumullah,
Termasuk berbakti kepada kedua orang tua adalah berbakti kepada orang yang dicintai oleh bapak atau ibu setelah keduanya meninggal, dengan cara mengunjungi mereka dan berbuat baik kepada mereka.
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ أَنْ يَبَرَّ الرَّجُلُ أَهْلَ ودِّ أَبِيْهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّـيَ (رواه مسلم)
Maknanya: “Di antara berbakti yang paling utama adalah apabila seseorang berbuat baik kepada orang yang dicintai oleh ayahnya setelah ayahnya meninggal” (HR Muslim).
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..